
Gaza - Di Gaza yang kini terhijab dari dunia luar, seorang ibu bernama Sa'da al-Khalidi, 46 tahun, menjalani kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan. Ia adalah seorang ibu dari empat putra dan dua putri. Namun, perang yang pecah pada 7 Oktober 2023 merenggut putra kesayangannya, Muhammad, yang baru berusia 13 tahun. Muhammad gugur sebagai syahid di hari-hari pertama serangan.
Sebelum serangan, Sa'da dan keluarganya tinggal di rumah sederhana mereka di Kamp Jabalia, Gaza Utara. Namun pada 11 Oktober 2023, hanya dua hari setelah kehilangan anaknya, keluarga ini mendapat perintah evakuasi. Sa'da enggan pergi, ia masih ingin menghirup aroma anaknya di sudut-sudut rumah, tempat Muhammad menorehkan kenangan terindahnya. Tetapi suaminya, Bajis al-Khalidi (62 tahun), memaksanya meninggalkan rumah. Ia tak sanggup kehilangan lebih banyak anggota keluarga.
"Sejak saat itu, dimulailah perjalanan penuh penderitaan," tutur Sa'da.
Keluarga ini berpindah ke wilayah tengah Gaza, di Kamp al-Bureij, sebelum akhirnya melanjutkan pelarian ke Rafah, selatan Gaza. Di sana, mereka bertahan dalam sebuah tenda reyot di tepi jalan.
Dua bulan setelah mengungsi, kesehatan Bajis memburuk. Berat badannya turun drastis hingga 40 kilogram. Ia memang sudah lama mengidap diabetes, memiliki enam ring di jantung, serta kanker prostat jinak. Namun kabar yang datang kemudian mengguncang keluarga ini: hasil pemeriksaan medis menyatakan kanker Bajis sudah ganas, menyebar ke hati dan paru-paru.
Bagi Sa'da, kabar itu ibarat petir di siang bolong. Suaminya adalah sandaran utama dalam hidup, "tiang tenda" keluarganya. Kini, di tengah perang, kelaparan, dan pengungsian, beban Sa'da semakin berat. Ia harus menjadi pilar kekuatan bagi enam anaknya, sekaligus berjuang mempertahankan hidup sang suami.
Hari-hari di tenda penuh derita: terik panas, minim air, obat-obatan langka, dan perut anak-anak yang kerap kosong. Namun Sa'da tetap berusaha menghadirkan rasa aman bagi anak-anaknya, serta menjaga suaminya tetap bernapas.
Hingga satu pagi di Deir al-Balah, tempat pengungsian berikutnya, ia mendapati suaminya tak sadarkan diri dengan suhu tubuh tinggi. Sa'da panik dan menghubungi ambulans, namun akibat gempuran serangan, ambulans baru tiba setelah tujuh jam. Sesampainya di Rumah Sakit Syuhada al-Aqsa, dokter menyatakan Bajis terkena stroke. Sejak itu, ia harus duduk di kursi roda.
Sa'da tak patah arang. Dengan penuh kesabaran, ia membantu suaminya bangkit kembali.
"Saya bangga pada diri saya. Dengan bahu saya sebagai tongkatnya, suami saya bisa meninggalkan kursi roda setelah enam bulan," kata Sa'da dengan mata berbinar.
Saat jeda gencatan senjata diumumkan, Sa'da nekat kembali ke Jabalia, berjalan kaki sejauh 20 kilometer dari Deir al-Balah. Harapannya sederhana: menemukan sesuatu yang masih tersisa dari rumahnya, mungkin baju Muhammad yang masih beraroma anaknya, atau buku catatan dengan pesan terakhir yang ditulis sang putra.
Namun setibanya di sana, hatinya kembali hancur. Rumah itu sudah rata dengan tanah. Tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Dengan air mata yang tak terbendung, ia pun kembali ke tenda pengungsian bagi pasien kanker di Gaza.
Kini, Sa'da harus berjuang keras menutupi kebutuhan keluarganya. Ia sering kali tak mampu menyediakan sepotong roti untuk Hasan, putra bungsunya yang baru berusia 7 tahun. Hasan kerap terjaga semalaman karena lapar, menangis hingga pagi. Sa'da hanya bisa memeluk dan menenangkannya, berharap bantuan makanan datang dari dapur umum.
Lebih menyakitkan lagi, kondisi Bajis menuntut makanan sehat, sementara yang tersedia hanya makanan kalengan—satu-satunya yang bisa ditemukan di Gaza yang terkepung.
"Dulu saya bermimpi sembuh," ujar Bajis dengan suara lirih. "Sekarang saya hanya berharap ada obat yang bisa meredakan sakit ini."
Di tengah semua kesulitan itu, Sa'da memilih untuk tetap tersenyum di depan anak-anak dan suaminya. Ia ingin mereka percaya bahwa keluarga ini masih bisa kuat. Namun dalam hatinya, ia hanya memiliki satu doa: perang segera berhenti, dan keluarganya bisa hidup dengan layak.
Ia juga berharap ada organisasi kemanusiaan yang mendengar suaranya, agar suaminya bisa dirujuk berobat ke luar Gaza. Ia sangat membutuhkan operasi pengangkatan prostat, serta perawatan lanjutan pada hati dan paru-parunya.
Kisah keluarga Sa'da hanyalah sepotong dari lautan derita ribuan keluarga Gaza lainnya. Keluarga yang kehilangan anak, kehilangan rumah, dan kini hidup di tenda-tenda sempit dengan perut lapar dan tubuh sakit.
Di tengah reruntuhan, kelaparan, dan ketiadaan obat, mereka terus menulis hari-hari dengan air mata, kesabaran, dan harapan—menunggu datangnya fajar yang membawa kehidupan yang lebih manusiawi.